loading

Kegemaranku Membaca sebagai Sumber Kebahagiaan

Siapapun yang terhibur dengan buku-buku, kebahagiaan tak akan sirna dari dirinya

Kegemaran saya membaca dimulai sejak kelas 3 SD. Kala itu, Mama sering meminjamkan buku ke perpustakaan wilayah, juga perpustakaan sekolah. Saban bulan, sedikitnya saya melahap 2 buku. Baik buku cerita anak, dunia hewan, sejarah, maupun etos kepahlawanan. Hari libur sekolah, saya naik sepeda ke perpustakaan yang dikelola oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Kalimantan Selatan (Dispersip Kalsel) yang beralamat di Jalan Kapten Piere Tendean, Kota Banjarmasin. Kebiasaan ini berlanjut hingga duduk di perguruaan tinggi, bahkan hingga kini.

Entah mengapa saya gandrung membaca. Asyik saja rasanya bercengkrama dengan dengan buku. Ketika membaca, saya merasa menjadi bagian dari cerita yang ditulis oleh si pengarangnya. pernah suatu ketika, saya tersedu-sedu di sudut kamar gegara membaca “Si Jamin dan Si Johan”, karya Merari Siregar, saduran dari Novel karya Justin Van Maurik yang terbit pada tahun 1879 di Amsterdam. Di Indonesia novel tersebut terbit pada tahun 1918. Meski saya sudah membacanya 3 kali, tetap saja pipi saya basah membayangkan betapa sengsaranya hidup kakak beradik tersebut. Saya pun masuk ke dunia lain di ruang antariksa ketika membaca buku petualangan Ke Planet Tau Ceti, buku cerita anak yang ditulis oleh Zubir Mukti pada tahun 1984.

 Di usia SMP, saya mulai merambah membaca novel. Saya penasaran dengan Hasan, Rusli dan kartini, tokoh-tokoh yang diceritakan oleh Achdiat Karta Mihardja dalam Novel berjudul Atheis, terbitan Balai Pustaka pada tahun 1949. Saya pun terpesona dengan indahnya rangkaian kalimat yang diucapkan oleh Zainuddin kepada Hayati, dalam novel “Tenggelamnya Kapal Kapal Van der Wijck”. Sebuah karya luar biasa dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan sebutan Buya Hamka. Seorang tokoh agama terkemuka, Ketua MUI pertama, sekaligus seorang sastrawan. Cara beliau mengkritik tentang adat istiadat yang melarang seorang tak beribu orang minang tidak diakui sebagai keluarga, dan praktik budaya kawin paksa sangat elegan. Karya ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1939. 

Darah muda saya pun mendidih melihat penindasan dan penjajahan, mungkin karena terpengaruh bacaan tentang etos kepahlawanan Jenderal Sudirman dalam cerita Pertempuran Ambarawa karya A. Soeroto yang diterbikan oleh Balai Pustaka pada tahun 1976.  Saya membayangkan diri menjadi sekuat Hercules, manusia setengah dewa dalam mitologi Yunani. Saya pun ingin setangguh Adipati Karna yang memiliki kesaktian tanpa tanding dan jiwa kesetiakawanan luar biasa. 

Pernah batin saya bergejolak menahan amarah ketika membaca halaman Novel berjudul “Tak Putus Dirundung Malang” yang dikarang oleh Sutan Takdir Alisjahbana, diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka tahun 1929. Saya terus saja menangis membaca novel itu, membayangkan betapa getirnya hidup kedua kakak beradik yang kehilangan ibu bapaknya semenjak kanak-kanak. Mereka hidup dalam kemelaratan, kemudian merantau akibat kebengisan paman mereka sendiri.

Saya pun sering mencuri baca novel silat yang disewa Abah (alm). Saya jadi ikut-ikutan suka baca cerita silat karya Kho Ping Kho, karena ceritanya seru. Saya merasa hadir di pertempuran antar pendekar di cerita itu.  Bahkan kadang, saya merasa hadir sebagai tokoh protagonis dalam cerita itu ha ha ha. Beberapa judul yang masih saya ingat adalah Pendekar Gila, Bu Kek Siansu, dan Suling Emas.

Entah mengapa, dulu saya gemar sekali membaca. Saya merasa senang, dan merasa ada yang kurang jika belum membaca. Saya merasa larut dalam cerita yang saya baca. Mungkin ini yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib RA, “Siapapun yang terhibur dengan buku-buku, kebahagiaan tak akan sirna dari dirinya.”. Kini, saya masih tetap gemar membaca, namun saya hampir tak sempat membaca novel lagi. Rutinitas kerja, dan ada tuntutan lain, yakni harus lebih banyak membaca artikel. Seperti saat ini, hampir setiap hari saya ke perpustakaan kampus TUANKU BAINUN, UPSI Malaysia. merevisi tesis sesuai arahan Supervisor. Alhamdulillah, selalu jumpa Bang Zul, mahasiswa master yang juga seorang Ustadz asal Lombok. Beliau juga memiliki kegemaran serupa dengan saya, membaca.

Oh ya, saya memiliki memori istimewa tentang perpustakaan di Jalan Piere Tendean. Kala itu, saya ke sana untuk membaca buku. Tiba-tiba ada segerombolan anak memainkan sepeda para pengunjung yang di parkir di halaman perpustakaan. Saya pun keluar, karena salah satu sepeda yang mereka mainkan milik saya. Terjadi perkelahian tidak seimbang. Jumlah mereka sekitar 7 – 10 orang. Saya dikeroyok anak-anak tersebut karena berani menegur mereka. Hebatnya saya nich ya, saya tidak menangis ha ha ha.
Setibanya di rumah, Almarhum Abah marah mendengar cerita Chandra, adik saya, yang juga ikut ke perpustakaan. Abah berhenti sebentar menarik ojek. Kami pun bertiga naik sepeda motor sewaan yang dijadikan ojek oleh Abah ke perpustakaan. Abah tidak terima anaknya diganggu. Namun pencarian tidak membuahkah hasil. Andai bertemu, entah apa yang terjadi. Abah sangat mencintai keluarga. Beliau tidak rela kami disakiti orang lain. Setelah kejadian itu, Abah mengikutkanku latihan Karate di Jl. Brigjend Hasan Basri. Sampai kini, aku masih ingat nama guru Karate-ku, Sempai Gusti Syaiful Kasuma. 
Terima kasih Mama, menanamkan kegemaran membaca sejak dini yang kini kurasakan sangat bermanfaat menambah literasi. Terima kasih Abah, Mengikutkanku latihan bela diri agar mampu menjaga diri sendiri. Terima kasih telah mengajariku bagaimana seharusnya lelaki melindungi keluarga. Semoga Mama selalu diberikan kesehatan dan kegembiraan hidup penuh barokah, dan semoga Abah (almarhum) mendapatkan rahmat dan ampunan Allah SWT, aamiin ya Rabbalalamin.

OcchiolismOcchiolism
WRITTEN BY

Occhiolism

Commit to sharing experience, knowledge, and insight for a better life.Read more

Responses ()